Selasa, 15 Maret 2011

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)


HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)
· SECARA GARIS BESAR HKI DIBAGI DALAM 2 (DUA) BAGIAN, YAITU :

1. Hak Cipta (Copyright);
2. Hak Kekayaan Industrial (industrial property rights), yang mencakup :
a. Paten (Patent);
b. Desain Industri (Industrial Design);
c. Merek (Trademark);
d. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit);
e. Rahasia Dagang (trade secret).
f. Perlindungan Varietas Tanaman (Varieties of Plants Protection).

Pada saat ini pengaturan tentang masing-masing bidang HKI telah diatur dalam undang-undang tersendiri sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 mengatur tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 mengatur tentang Rahasia Dagang;
3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 mengatur tentang Desain Industri;
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 mengatur tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
5. Undang-Undang Nomor14 Tahun 2001 mengatur tentang Paten;
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengatur tentang Merek; dan
7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 mengatur tentang Hak Cipta.

Disamping peraturan perundang-undangan tersebut di atas, pada Tahun 1997 Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi atau traktat internasional antara lain :
1. Konvensi Paris diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997;
2. Patent Cooperation Treaty (PCT) diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997;
3. Trade Mark Law Treaty diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997;
4. Konvensi Bern diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997; dan
5. World Intellectual Property Orgnization (WIPO) Copyrights Treaty diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.

· HKI DALAM KERANGKA HUKUM INTERNASIONAL
         Dalam kerangka pembahasan mengenai HKI, maka dari segi substantif, norma hukum yang mengatur tentang HKI tidak hanya terbatas pada norma hukum yang dikeluarkan oleh satu negara tertentu, tetapi juga terikat pada norma-norma hukum intenasional. Disini terlihat hakikat hidupnya sistem hukum itu. Hukum tumbuh dan berkembang sejalan dengan tuntutan masyarakat, dalam bidang HKI didasarkan pada tuntutan perkembangan peradaban dunia.
        Oleh karena itu negara-negara yang turut dalam kesepakatan Internasional, harus menyesuaikan peraturan perundang-undangan dalam negerinya dengan ketentuan Internasional, yang dalam kerangka General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)/WTO (1994) adalah kesepakatan TRIPs, sebagai salah satu dari Final Act Embodying The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation, yang ditandatangani di Marakesh pada bulan April 1994 oleh 124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Indonesia termasuk salah satu negara yang turut menandatangani kesepakatan itu dan meratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.
        Akibatnya Indonesia tidak dapat dan tidak diperkenankan membuat peraturan yang extra-territorial yang menyangkut perlindungan HKI, dan semua isu yang terdapat dalam kerangka WTO, Indonesia harus mengakomodirnya paling tidak harus memenuhi (pengaturan) standar minimum. Dengan demikian Indonesia harus neyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan HKI. Dengan telah diundangkannya 7 (tujuh) undang-undang tersebut di atas, maka Indonesia telah menjadi negara yang sudah cukup lengkap pengaturan di bidang HKI.
       Dalam upaya persiapan perlindungan internasional HKI pada tahun-tahun mendatang, Indonesia mengahadapi berbagai kendala yang tidak ringan.
Pertama, secara budaya sebenarnya masyarakat kita belum siap dengan pemberlakuan HKI (yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di lingkungan masyarakat Barat, dicirikan oleh kepentingan individual yang menonjol). Sedangkan sebagian besar masyarakat kita kebudayaannya masih mementingkan kebersamaan.
Kedua, kemampuan Ditjen HKI yang bertugas memperjuangkan dan mensosialisasikan HKI masih kurang memadai, baik infrastruktur, informasi maupun SDM-nya. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan belum adanya kantor cabang Ditjen HKI di daerah-daerah, sehingga para penemu (Inventor) teknologi di daerah yang ingin mendaftarkan hasil karyanya harus datang langsung ke Kantor Ditjen HKI Tangerang. Memang pada saat ini pendaftaran HKI dapat dilakukan di beberapa Kanwil Propinsi, namun belum semua Kanwil Propinsi yang dapat menerima pendaftaran tersebut. Kanwil tersebut hanya sebatas menerima titipan pendaftaran yang kemudian akan dikirimkan ke Ditjen HKI di Tangerang, sedangkan pemberian nomor pendaftaran, pemeriksaan substantif, dan penerbitan sertifikat tetap dilakukan oleh Ditjen HKI di Tangerang. Belum tersedianya data base yang dapat diakses guna memperoleh informasi mengenai dokumen HKI khususnya Paten.
Ketiga, dari sisi kelembagaan, belum tercipta koordinasi yang baik antara instansi terkait, sehingga penegakan hukum di bidang HKI masih sering terhambat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar