Senin, 07 Maret 2011

Kasus Artalyta Suryani




Terdakwa Artalyta Suryani, penyuap jaksa Urip Tri Gunawan, dituntut hukuman lima tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, Artalyta harus membayar denda sebesar Rp 250 juta.
Tuntutan tersebut disampaikan JPU KPK yang diketuai Sarjono Turin di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diketuai Mansyurdin Chaniago, di Pengadilan Tipikor, kemarin. JPU KPK menilai Artalyta terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan.
Artalyta menyuap Urip 660 ribu dolar AS, kata JPU KPK, untuk kepentingan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas nama Sjamsul Nursalim. Artalyta meminta Urip yang menjadi ketua tim penyelidik kasus tersebut untuk tidak memanggil Sjamsul.
Tindakan Artalyta tersebut, menurut JPU KPK, melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Alasan yang memberatkan hingga JPU KPK menuntut hukuman lima tahun penjara kepada Artalyta adalah yang bersangkutan menyuap penegak hukum, memberikan keterangan yang berbelit-belit, serta tidak menyesal dengan perbuatannya.
Bahkan, JPU menilai Artalyta berusaha membuat rekayasa supaya terkesan pemberian uang kepada Urip adalah keperluan bisnis. Perbuatan Artalyta dinilai tidak sejalan dengan upaya pemberantasan korupsi yang digalakkan oleh pemerintah. Sedangkan hal-hal yang meringankan, menurut Sarjono, tidak ada.
Sementara itu, penasihat hukum Artalyta, Otto Cornelis Kaligis, menyatakan, siap mengajukan pembelaan atas tuntutan tersebut. Menurut dia, pemberian uang kepada Urip tidak lebih dari aktivitas bisnis. Dia juga menegaskan, kliennya tidak pernah bekerja sama dengan Urip untuk membocorkan informasi terkait penyelidikan perkara BLBI yang menjerat Sjamsul Nursalim.
Majelis hakim menunda sidang hingga Senin pekan depan untuk mendengarkan pembelaan Artalyta dan kuasa hukumnya.
Sebelumnya, surat dakwaan JPU KPK menyatakan, dengan perantaraan Urip, Artalyta diduga telah memengaruhi mantan Direktur Penyidikan Pidana Khusus Muhammad Salim dan Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Khusus (Pidsus) Kemas Yahya Rahman dalam penanganan kasus tersebut.
Dalam surat dakwaan itu JPU KPK mengungkapkan bahwa Artalyta memiliki hubungan baik dengan Urip dan berkali-kali menghubungi Urip untuk mengurus kasus Sjamsul. Kontak pertama dilakukan ketika Surat Perintah Penyelidikan kasus PT BDNI yang mantan presiden direkturnya Sjamsul Nursalim dikeluarkan Kejaksaan Agung.
Pada 5 Desember 2007, Artalyta menghubungi Urip agar bisa dipertemukan dengan M Salim. Tujuannya untuk membicarakan pemanggilan Sjamsul menghadap Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi pada Direktorat Penyidikan Kejaksaan Agung RI, pada 6 Desember 2007. Selanjutnya Urip bersama jaksa Djoko Widodo berhasil mempertemukan Artalyta Suryani dengan Salim dan Kemas Yahya Rahman.
Keesokan harinya, Artalyta mempertemukan Urip dengan istri Sjamsul, Itjih Nursalim, untuk membicarakan pemanggilan Sjamsul oleh Kejaksaan Agung. Pada 7 Desember 2007, Artalyta kembali menemui Urip di Hotel Grand Mahakam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang memberikan surat panggilan kedua atas nama Sjamsul Nursalim untuk dimintai keterangan pada 13 Desember 2007. Pada pertemuan itu Artalyta memberikan uang Rp 100 juta kepada Urip.
Selanjutnya, Artalyta kembali menghubungi Urip pada 10 Desember 2007 untuk membicarakan panggilan kedua terhadap Sjamsul untuk kasus yang sama. Hasilnya, Sjamsul tidak memenuhi panggilan tersebut pada 13 Desember 2007.
Pada 18 Desember 2007, Artalyta kembali menghubungi Urip untuk bertemu di Hotel Millenium pada 19 Desember 2007 untuk membicarakan perkembangan penyelidikan kasus dugaan korupsi pada penyerahan aset pemegang saham bank penerima BLBI kepada BPPN. Lalu, pada 28 Desember 2007, Artalyta kembali menghubungi Urip untuk keperluan yang sama. Saat itu Artalyta kembali menemui Salim di Kejaksaan Agung.
Pada 8 Januari 2008, Urip memberikan informasi kepada Artalyta bahwa ada perintah dari atasan Urip untuk kembali memanggil Sjamsul Nursalim pada 17 Januari 2008. Saat itu Artalyta minta kepada Urip agar Sjamsul tak perlu dipanggil lagi. Atas permintaan itu, menurut surat dakwaan JPU KPK, Urip mengusulkan kepada Artalyta agar pengacara Sjamsul menyurati penyidik bahwa yang bersangkutan sedang dalam keadaan sakit di Singapura. Sedangkan Artalyta minta kepada Urip agar menyerahkan surat panggilan tersebut.
Urip menyerahkan surat panggilan tersebut keesokan harinya. Artalyta pun menandatangani tanda terima surat tersebut dengan mencantumkan nama Agus. Pada hari itu juga Urip menginformasikan kepada Artalyta bahwa kasus Sjamsul akan diekspose di hadapan Jaksa Agung. Pada kesempatan itu, Artalyta juga meminta Urip untuk membantu agar tidak timbul masalah yang merugikan kepentingan Sjamsul. Sore harinya Urip kembali memberikan informasi soal perkembangan hasil ekspose kasus Sjamsul, yang dilanjutkan dengan pertemuan di Hotel Grand Mahakam pada malam harinya.
Kemudian, Artalyta meminta Urip terus membantu perkara Sjamul. Pada 27 Februari 2008, Artalyta kembali menghubungi Urip untuk mengambil uang yang sudah dijanjikan sebelumnya. Pada 2 Maret 2008, Urip ke rumah di Jalan Terusan Hang Lekir Blok WG-9 Jakarta Selatan untuk menerima 660 ribu dolar AS sampai akhirnya keduanya ditangkap penyidik KPK. (Nefan Kristiono)


Tanggapan :
  Sekilas antara percakapan antara ayin dengan petinggi-petinggi Kejaksaan Agung RI itu menyiratkan memang sudah wajarnya terjadi korupsi hokum yang parah di institusi hukm negeri ini.
  Hal ini pun hampir mirip dengan kasus Harini Wiyoso, seorang mantan hakim tinggi yang berprofesi menjadi pengacara, yang mencoba untuk mempengaruhi hakim agung dengan suap agar hakim MA “berpihak” dalam kasus Probosutedjo, yang mengakibatkan pegawai-pegawai MA disingkirkan dari kantor Mahkamah agung setelah diganjar dengan hukuman oleh pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)
  Berbagai kasus korupsi di atas hanya lah fenomena gunung es di tengah lautan, dibandingkan dengan yang tampak di permukaan, sebenar nya es yang berada di bawah air jauh lebih besar. Artinya, kasus korupsi yang tampak bisa diungkapkan hanyalah sebagian kecil dari kenyataan korupsi yang ada. Kegawatan kondisi korupsi ini seharus nya bisa lebih di kemukakan sehingga merasuk dalam batin masyarakat secara penuh agar selanjutnya bisa memunculkan sense of crisis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar